Selasa, 16 Januari 2018

SoftSkill Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) / Pertemuan ke-4



Fazri Rahmadhan / 34414093

      Ø  POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL (POLSTRANAS)
Kata politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia yang akar  katanya adalah polis dan teia. Polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu Negara dan teia berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik mempunyai makna kepentingan umum warga Negara suatu Negara. Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Di dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif.
Politik merupakan cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan politik bangsa Indonesia telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan politik bangsa Indonesia harus dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia, untuk itu pembangunan di segala bidang perlu dilakukan.Dengan demikian pembangunan nasional harus berpedoman pada Pembukaan UUD 1945 alania ke-4.
Dalam arti kepentingan umum (politics) Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentingan umum, baik yang berada dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di Daerah, lazim disebut Politik (Politics) yang artinya adalah suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita inginkan. Sedangkan Dalam arti kebijaksanaan (Policy) Politik adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita kehendaki. Dalam arti kebijaksanaan, titik beratnya adalah adanya :
·         proses pertimbangan
·         menjamin terlaksananya suatu usaha
  • pencapaian cita-cita/keinginan
Politik nasional adalah suatu kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional. Strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional. Strategi nasional disusun untuk melaksanakan politik nasional, misalnya strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Politik dan Strategi Nasional dalam aturan ketatanegaraan selama ini dituangkan dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh MPR.Hal ini berlaku sebelum adanya penyelenggaraan pemilihan umum Presiden secara langsung pada tahun 2004.Setelah pemilu 2004 Presiden menetapkan visi dan misi yang dijadikan rencana pembangunan jangka menengah yang digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan dan membangun bangsa.

Ø IMPLEMENTASI POLSTRANAS BIDANG POLITIK
1.    Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu padakebhinekatunggalikaan. Untuk menyelesaikan masalah–masalah yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara, perlu upaya rekonsiliasi nasionalyang diatur dengan undang–undang.
2.    Menyempurnakan Undang–Undang Dasar 1945 sejalandengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dantuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan danpersatuan bengsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangatPembukaan Undang–Undang Dasar 1945.
3.    Meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, danlembaga–lembaga tinggi negara lainnya denganmenegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yangmengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tatahubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif danyudikatif.
4.    Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedudukanrakyat demokratis dan terbuka, mengembangkan kehidupankepartaian yang menghormati keberagaman aspirasi politik,serta mengembangkan sistem dan penyelengaraan pemiluyang demokratis dengan menyempurnakan berbagaiperaturan perundang–undangan dibidang politik.
5.    Meningkatkan kemandirian partai politik terutama dalammemperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat sertamengembangkan fungsi pengawasan secara efektif terhadapkineja lembaga–lembaga negara dan meningkatkanefektivitas, fungsi dan partisipasi organisasikemasyarakatan, kelompok profesi dan lembaga swadayamasyarakat dalam kehidupan bernegara.
6.    Meningkatkan pendidikan politik secara intensif dankomprehensif kepada masyarakat untuk mengembangkanbudaya politik yaitu demokratis, menghormati keberagamanaspirasi, dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hakasasi manusia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
7.    Memasyarakatan dan menerapkan prinsip persamaan dananti diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
8.    Menyelenggarakan pemilihan umum secara lebih berkualitasdengan partisipasi rakyat seluas–luasnya atas dasar prinsipdemokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, danberadab yang dilaksanakan oleh badan penyelenggaraindependen dan nonpartisan selambat–lambatnya padatahun 2004.
9.    Membangun bangsa dan watak bangsa (nation andcharacter building) menuju bangsa dan masyarakatIndonesia yang maju, bersatu, rukun, damai, demokratis,dinamis, toleran, sejahtera, adil dan makmur.
10.     Menindak lanjuti paradigma Tentara Nasional Indonesiadengan menegaskan secara konsisten reposisi dan redefinisiTentara Nasional Indonesia sebagai alat negara denganmengoreksi peran politik Tentara Nasional Indonesia dalambernegara. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalammerumuskan kebijaksanaan nasional dilakukan melaluilembaga tertinggi negara Majelis Permusyawaratan Negara.

Implementasi dalam Penyelenggara negara
·         Membersihkan penyelenggara negara dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan memberikan sanksi seberat–beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat dengan mengembangkan etik dan moral.
·         Meningkatkan kualitas aparatur negara dengan memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta memberlakukan sistem karier berdasarkan prestasi dengan prinsip memberikan penghargaan dan sanksi.
·         Melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat dan pejabat pemerintahan sebelum dan sesudah memangku jabatan dengan tetap menjunjung tinggi hak hukum dan hak asasi manusia.

Ø OTONOMI DAERAH
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen). Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
1.        Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)    Provinsi
2)    Kabupaten/kota besar
3)    Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2.        Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
     a)    Propinsi
     b)    Kabupaten/kota besar
     c)    Desa/kota kecil
     d)   Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
3.        Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
            1)    Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2)    Daerah swatantra tingkat II
3)    Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4.        Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitik beratkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III. Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5.        Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)    Provinsi (tingkat I)
2)    Kabupaten (tingkat II)
3)    Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6.        Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1)    Provinsi/ibu kota negara
2)    Kabupaten/kotamadya
3)    Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
7.        Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun  1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2)  Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3)   Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4)   Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8.        Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

Otonomi Daerah Sebelum Reformasi
Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah telah mengambil langkah-langkah penting dalam rangka perwujudan cita desentralisasi. Langkah-langkah penting yang diambil pemerintah itu terlihat dari lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang masing masing dengan sistemnya sendiri. Undang-Undang No. 1/1945 merupakan undang-undang pertama yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU ini antara lain ditetapkan :
a)      Komite Nasional Daerah diadakan, kecuali di Daerah Surakarta dan Yogyakarta, di Kresidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan lainlain Daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri ( Pasal 1).
b)      Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga Daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya (Pasal 2).
c)      Oleh Komite Nasional dipilih beberapa orang, sebanyakbanyaknya 5 orang sebagai Badan Executive, yang bersamasama dengan dan pimpinan oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari dalam Daerah itu (Pasal 3). Berdasarkan UU No. 1/1945 inilah Komite Nasional Daerah berubah atau menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan diketuai oleh Kepala Daerah, serta mempunyai tugas mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah Pusat dan peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kedudukannya.Meskipun Badan Perwakilan Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi Kepala Daerah bukanlah merupakan anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan karenanya tidak mempunyai hak suara.
Berdasarkan UU No. 1/1945 Komite Nasional Daerah berubah atau menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan diketuai oleh Kepala Daerah, serta mempunyai tugas mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah Pusat dan peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kedudukannya.Meskipun Badan Perwakilan Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi Kepala Daerah bukanlah merupakan anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan karenanya tidak mempunyai hak suara. Pada masa berlakunya UU No.1/1945, otonomi yang diberikan kepada Daerah adalah otonomi Indonesia yang lebih luas dibandingkan pada masa Hindia Belanda. Pembatasan terhadap otonomi itu hanyalah agar tidak bertentangan dengan peraturan Pusat dan Daerah yang lebih tinggi. alat kelengkapan (organ) Pemerintahan Daerah ada tiga yakni :
a.       KNID sebagai DPRD Sementara yang bersamasama dan dipimpin Kepala Daerah menjalankan fungsi legislatif.
b.      Badan (terdiri dari sebanyakbanyaknya 5 orang) yang dipilih dari dan oleh anggota KNID sebagai "Badan Eksekutif" bersamasama dan dipim-pin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari (dibidang otonomi dan tugas pembantuan).
Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat menjalankan urusan pemerintahan Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang dijalankan oleh kantorkantor Departemen di daerah.
Otonomi Daerah Pasca Reformasi
Era reformasi di tahun 1998, dimana soal otonomi daerah menjadi salah satu tuntutan pokok dari reformasi. Alhasil dari tuntutan reformasi itu lahirlah UU No.22 Tahun 1999 dan sekaligus mengakhiri orde otonomi daerah model UU No.5 Tahun 1974 yang sangat sentralistik .Perubahan akan otonomi daerah terlihat jelas dari petimbangan UU No.22  Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. Mengenai ketidak sesuaian dari UU No.5 Tahun 1974 itu dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah diuraikan atau tergambar secara panjang lebar dalam penjelasan UU No.22/1999.Apabila dicermati UU No.22/1999 terdapat banyak perbedaan yang sangat prinsip serta sekaligus sebagai perbedaan yang fundamental dibanding dengan UU No.5/1975.
Pertama, dipisahkannya dengan tegas antara Kepala Daerah dengan DPRD. Artinya, bila dalam UU No.5/1974 keberadaan DPRD tercakup dalam lingkup pengertian “Pemerintah Daerah”, dalam UU No 22/1999 ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah itu hanya Kepala Daerah dengan perangkar daerah lainnya dan disebut dengan eksekutif daerah. Dalam konteks “Pemerintah Daerah”, dirumuskan terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, sedangkan sebelumnya antara Kepala Daerah dan DPRD berada dalam lingkup “Pemerintah Daerah”, sehingga ada kerancuan DPRD ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif daerah.
Kedua, ditempatkannya Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Artinya tidak ada lagi daerah administrative atau yang sebelumnnya disebut dengan pemerintahan wilayah pada tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana adanya pada UU No.5/174.
Ketiga, dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Keempat, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
Kelima, berdasarkan UU No.22/1999 pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung  jawab. Artinya penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi hanya padatingkat Propinsi.
Keenam, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah apabila DPRD menolak pertantanggungjawaban Kepala Daerah.
Ketujuh, adanya pembagian kewenangan yang tegas antara Propinsi dengan Kabupaten Kota.
Kedelapan, Kepala Daerah baik gubernur maupun bupati/walikota dipilih oleh DPRD, sedangkan sebelumnya Kepala Daerah diangkat oleh Presiden atas usul DPRD.
Beberapa hal yang dikemukakan di atas hanya sebagian saja dari perbedaan yang fundamental penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai implementasi dari dianutnya asas desentralisasi di Indonesia dibanding era sebelum reformasi. Ada banyak hal perubahan yang fundamental dalam penyelenggaraan otonomi daerah dari UU No.5/1974 ke UU No.22/1999, termasuk ke dalam hal ini diperkenalkannya otonomi khusus oleh UU No.22/1999. Sementara di bawah UU No.5/1974 hanya dikenal Daerah khusus yang secara subtansial memiliki perbedaan mendasar dengan otonomi khusus.Singkat kata, dengan diundangkannya UU No.22/1999 sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974 harus diakui telah memberikan “gairah” dan darah baru bagi penyelenggaraan otonomi daerah.eforia otonomi daerah dengan segala dinamikanya terlihat jelas di daerah-daerah. Meskipun kemudian, gairah otonomi daerah yang meningkat luar biasa itu melahirkan berbagai masalah yang tidak diduga sebelumnnya dan kemudian mendorong tumbuhnya pemikiran serta gagasan untuk merevisi UU No.22/1999. Gagasan untuk merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian direalisasikan  yakni dengan diundangkannya UU No.32 /2004. Revisi atas UU 22/1999  yang hanya baru beberapa tahun itu sekaligus menunjukkan soal otonomi daerah bergantung pada “selera” politik dan kekuasaan. Meskipun dalam penjelasan UU No 32/2004 diangkat beberapa alasan untuk melakukan perubahan UU No 22/1999 berupa Tap MPR dan perubahan UUD 1945 tetapi secara subtansial revisi atas UU No 22/1999 lebih cenderung dilatar belakang politis melihat apa yang berkembang pada penyelenggaraan otonomi daerah dibawah UU No 22/1999. Hal ini dengan mudah bisa ditunjukkan, yakni dengan memperhatikan rumusan otonomi daerah dari kedua UU tersebut. Dalam UU No.22 /1999 otonomi daerah diartikan sebagai; “Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan ”. Rumusan terhadap otonomi daerah yang dalam UU No 22/1999 diawali dengan frase “otonomi daerah adalah kewenangan daerah…. “, tetapi tidak demikian halnya dengan otonomi daerah dalam UU No.32/2004 yang menyebutkan;“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan ”.
Dari perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No 22/1999 dan UU No.32/2004 itu mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah sebelum reformasi yang senantiasa memberikan rumusan terhadap otonomi daerah  yang berbeda-beda antara satu undang-undang dengan undang yang lainnya. Pengertian otonomi daerah dalam UU No 32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5  Tahun 1974. Dalam hubungan ini UU No 5 Tahun 1974 menyebutkan;
“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan  perundang-undangan yang berlaku”. Dengan adanya perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32 Tahun 2004 tersebut dan sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5 Tahun 1974 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal otonomi daerah selalu terseret arus politik dan kekuasaan.

Otonomi Daerah di Indonesia Saat Ini
Semenjak reformasi di gulirkan dan menguknya konsep otonomi daerah sebagai bentuk kritikan terhadap pengelolaan pemerintahan pada zaman ordebaru  yang dinilai pemerintahan yang sangat sentralistik yang kesemuanya dikomandoi atau segalah urusan dinakodai pemerintah nasional atau pusat sehingga daerah atau sub nasional tidak memiliki peranan yang berarti dalam pengolaha pemerintahan. Tak terkecuali urusan pemerintahan yang bersifat tekhnis dimana jakarta menjadi aktor penentu, meskipun jauh sebelum adanya otonomi daerah telah ada kritikan tentang pengelolaan pemeritahan yang seperti itu dengan anggapan bahwa keputusan yang diambil tidak tepat sasaran dengan apa yang diharapkan di daerah , Setidaknya dalam hal pengelolaan negara tersebut, substansinya berada pad rana Horisontal atau yang mana terkait dengan fungsi serta vertikal  yaitu struktur penyelanggara pemerintahan seperti pemerintahan nasional atau pusat, daerah atau sub nasional. Dimana batasan batasan fungsi atau wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta hubungan diantaranya dalam mengelolah pemerintahan.

Orde Baru
Memasuki masa Orde Baru (Orba), UU 18/1965 diganti UU 5/1974 yang sentralistis. Proses kehidupan demokrasi, terutama di daerah, mundur jauh ke belakang. Apalagi dengan dibentuknya lembaga musyawarah pimpinan daerah (muspida), termasuk jalur organisasi militer di daerah.
 Prof Syarif Hidayat, dalam tulisannya, ”Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Orba (1966-1998)” di buku yang sama mengatakan, di UU ini asas dekonsentrasi tak lagi didudukkan sebagai komplemen dari asas desentraliasi, tetapi diberi status sama dengan desentralisasi.

Reformasi
UU 5/1974 diganti UU 22/1999 dan UU 25/1999. Seperti halnya UU 1/1957, UU 22/1999 dinilai terlalu jauh melompat. Menurut Prof Bhenyamin, bila UU 5/1974 teorinya menganut model efisiensi struktural yang menekankan efisiensi dalam pelayanan dan pembangunan, maka UU 22/1999 menganut model demokrasi lokal. Provinsi, kabupaten, dan kota yang dulunya bergantung sepenuhnya dan menjadi subordinat pusat, berubah menjadi independen dan koordinatif. Hubungan pusat dan daerah yang tadinya bersifat dari atas ke bawah diganti dengan hubungan yang bersifat resiprokal. 
Karena UU 22/2004 memberi kemudahan terhadap pembentukan kabupaten dan kota, bermunculanlah ratusan kabupaten dan kota yang jumlahnya sekarang mencapai 440. Sayangnya, pertumbuhan pesat kabupaten dan kota tidak dibarengi dengan penegakan hukum dan penguatan visi elite lokal. Yang terjadi kemudian, praktik korupsi, mismanajemen daerah, dan konflik meluas. Untuk meredam lompatan yang dinilai berlebihan itu, UU 22/1999 kemudian diganti dengan UU 32/2004. Dalam UU ini diatur tegas wewenang pusat, yaitu politik luar negeri-pertahanan dan keamanan-moneter- fiskal nasional-yustisiagama. Peran gubernur sebagai kepanjangan tangan pusat untuk mengoordinasi daerah di bawahnya pun ditetapkan. UU 32/2004, menurut Prof Bhenyamin, telah memadukan model efisiensi struktural dan model demokrasi lokal. Meski demikian, nuansa demokrasinya tetap masih kental karena baik KDH maupun DPRD dipilih langsung. Pada bulan September 2014, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu Undang-Undang No. 23/2014 yang menggantikan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang lama. Meskipun Undang-Undang yang baru ini mengembalikan beberapa kewenangan ke tingkat pusat, UU ini memberikan panduan yang lebih jelas terkait distribusi fungsi pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. (Pasal 1 poin 3 UU No 23 Tahun 2014). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. wakil kepala daerah tetap dipilih secara “paket” bersamaan dengan calon kepala daerah, sebagaimana seperti dalam Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga perlu diatur pembagian tugas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah agar tidak terjadi disharmoni dan dan perlunya pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan. (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah).
      Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. (Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah).
      Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. (Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah).
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah)
Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Ø Pendapat saya tentang kondisi polstranas saat ini yang dipimpin oleh presiden Joko Widodo sudah baik dan dapat dikatakan sudah mengakomodasi reformasi administrasi pemerintahan dan menerapkan prinsip pemerintahaan yang bagus. Hal ini dapat dilihat pada kebijakan dimana kebijakan tersebut memiliki ciri seperti manajemen perubahan, penataan PERPU, penataan sistem manajemen SDM, penguatan pengawasan, dll. Jadi menurut saya polstranas saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya.

SUMBER :