Fazri
Rahmadhan / 34414093
Ø POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL
(POLSTRANAS)
Kata
politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia yang akar katanya
adalah polis dan teia. Polis, berarti
kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu Negara dan teia berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik mempunyai
makna kepentingan umum warga Negara suatu Negara. Strategi adalah
pendekatan secara keseluruhan yang
berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah
aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Di dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim
kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan
prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan,
dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif.
Politik merupakan cara
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan politik bangsa
Indonesia telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan politik bangsa
Indonesia harus dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia, untuk itu pembangunan di
segala bidang perlu dilakukan.Dengan demikian pembangunan nasional harus
berpedoman pada Pembukaan UUD 1945 alania ke-4.
Dalam arti kepentingan umum
(politics) Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk
kepentingan umum, baik yang berada dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di
Daerah, lazim disebut Politik (Politics) yang artinya adalah suatu rangkaian
azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan
jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita
inginkan. Sedangkan Dalam arti kebijaksanaan (Policy) Politik adalah penggunaan
pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggap lebih menjamin
terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita
kehendaki. Dalam arti kebijaksanaan, titik beratnya adalah adanya :
·
proses pertimbangan
·
menjamin terlaksananya suatu usaha
- pencapaian cita-cita/keinginan
Politik nasional
adalah suatu kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu
cita-cita dan tujuan nasional. Strategi nasional adalah cara
melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan
oleh politik nasional. Strategi nasional disusun untuk melaksanakan politik
nasional, misalnya strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Politik dan Strategi
Nasional dalam aturan ketatanegaraan selama ini dituangkan dalam bentuk GBHN
yang ditetapkan oleh MPR.Hal ini berlaku sebelum adanya penyelenggaraan
pemilihan umum Presiden secara langsung pada tahun 2004.Setelah pemilu 2004
Presiden menetapkan visi dan misi yang dijadikan rencana pembangunan jangka
menengah yang digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan dan
membangun bangsa.
Ø IMPLEMENTASI POLSTRANAS BIDANG
POLITIK
1. Memperkuat
keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu
padakebhinekatunggalikaan. Untuk menyelesaikan masalah–masalah yang mendesak
dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara, perlu upaya rekonsiliasi
nasionalyang diatur dengan undang–undang.
2. Menyempurnakan
Undang–Undang Dasar 1945 sejalandengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika
dantuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan danpersatuan bengsa,
serta sesuai dengan jiwa dan semangatPembukaan Undang–Undang Dasar 1945.
3. Meningkatkan
peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, danlembaga–lembaga tinggi negara lainnya
denganmenegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yangmengacu pada prinsip pemisahan
kekuasaan dan tatahubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif
danyudikatif.
4. Mengembangkan
sistem politik nasional yang berkedudukanrakyat demokratis dan terbuka,
mengembangkan kehidupankepartaian yang menghormati keberagaman aspirasi
politik,serta mengembangkan sistem dan penyelengaraan pemiluyang demokratis
dengan menyempurnakan berbagaiperaturan perundang–undangan dibidang politik.
5. Meningkatkan
kemandirian partai politik terutama dalammemperjuangkan aspirasi dan
kepentingan rakyat sertamengembangkan fungsi pengawasan secara efektif
terhadapkineja lembaga–lembaga negara dan meningkatkanefektivitas, fungsi dan
partisipasi organisasikemasyarakatan, kelompok profesi dan lembaga
swadayamasyarakat dalam kehidupan bernegara.
6. Meningkatkan
pendidikan politik secara intensif dankomprehensif kepada masyarakat untuk
mengembangkanbudaya politik yaitu demokratis, menghormati keberagamanaspirasi,
dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hakasasi manusia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
7. Memasyarakatan
dan menerapkan prinsip persamaan dananti diskriminatif dalam kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
8. Menyelenggarakan
pemilihan umum secara lebih berkualitasdengan partisipasi rakyat seluas–luasnya
atas dasar prinsipdemokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil,
danberadab yang dilaksanakan oleh badan penyelenggaraindependen dan nonpartisan
selambat–lambatnya padatahun 2004.
9. Membangun
bangsa dan watak bangsa (nation andcharacter building) menuju bangsa dan
masyarakatIndonesia yang maju, bersatu, rukun, damai, demokratis,dinamis,
toleran, sejahtera, adil dan makmur.
10. Menindak
lanjuti paradigma Tentara Nasional Indonesiadengan menegaskan secara konsisten
reposisi dan redefinisiTentara Nasional Indonesia sebagai alat negara
denganmengoreksi peran politik Tentara Nasional Indonesia dalambernegara.
Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalammerumuskan kebijaksanaan nasional
dilakukan melaluilembaga tertinggi negara Majelis Permusyawaratan Negara.
Implementasi dalam Penyelenggara negara
·
Membersihkan penyelenggara negara dari praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan memberikan sanksi seberat–beratnya sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan
internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat dengan mengembangkan etik
dan moral.
·
Meningkatkan kualitas aparatur negara dengan
memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta memberlakukan sistem karier
berdasarkan prestasi dengan prinsip memberikan penghargaan dan sanksi.
·
Melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat dan
pejabat pemerintahan sebelum dan sesudah memangku jabatan dengan tetap
menjunjung tinggi hak hukum dan hak asasi manusia.
Ø OTONOMI DAERAH
Pada tahun 1903, pemerintah
kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya
satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini
deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922,
pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam
ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan
groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga,
terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat
(zelfbestuurende landschappen). Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh
pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun
kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat
dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
Ketika menjalar PD II
Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan
Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak
memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada
masa tersebut bersifat misleading.
1.
Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di
keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu
oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing
dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota
besar
3) Desa/kota
kecil.
UU No.1
Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam
batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.
2.
Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam
UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)
Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur
rumah tangganya sendiri.
3.
Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU
No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra.
Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah
tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1)
Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah
swatantra tingkat II
3) Daerah
swatantra tingkat III.
UU No. 1
Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai
Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4.
Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No.
6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitik beratkan pada
kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen
baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal
dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III. Dekonsentrasi
sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala
daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5.
Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU
ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
(tingkat I)
2) Kabupaten
(tingkat II)
3) Kecamatan
(tingkat III)
Sebagai alat
pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan
pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas
lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah
daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan
DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6.
Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini
menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar
asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah
tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya
menjadi:
1) Provinsi/ibu
kota negara
2)
Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik berat
otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi
aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
7.
Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada
prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem ketatanegaraan
Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas
desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi
sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah
kabupaten dan daerah kota.
3) Daerah di luar
provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan
perangkat daerah kabupaten.
Secara umum,
UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
8.
Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal
15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang dalam
pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru
ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan
provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi,
supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga
provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.
Otonomi Daerah Sebelum
Reformasi
Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
pemerintah telah mengambil langkah-langkah penting dalam rangka perwujudan cita
desentralisasi. Langkah-langkah penting yang diambil pemerintah itu terlihat
dari lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pemerintahan daerah, yang masing masing dengan sistemnya
sendiri. Undang-Undang No. 1/1945 merupakan undang-undang pertama yang mengatur
mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU ini antara lain ditetapkan :
a)
Komite Nasional
Daerah diadakan, kecuali di Daerah Surakarta dan Yogyakarta, di Kresidenan, di
Kota berotonomi, Kabupaten dan lainlain Daerah yang dianggap perlu oleh Menteri
Dalam Negeri ( Pasal 1).
b)
Komite Nasional
Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersamasama dengan dan
dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga
Daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya (Pasal 2).
c)
Oleh Komite Nasional dipilih beberapa orang,
sebanyakbanyaknya 5 orang sebagai Badan Executive, yang bersamasama dengan dan
pimpinan oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari dalam Daerah
itu (Pasal 3). Berdasarkan UU No. 1/1945 inilah Komite Nasional Daerah berubah
atau menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan diketuai oleh Kepala
Daerah, serta mempunyai tugas mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya
dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah Pusat dan
peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kedudukannya.Meskipun Badan
Perwakilan Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi Kepala Daerah bukanlah merupakan anggota
Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan karenanya tidak mempunyai hak suara.
Berdasarkan
UU No. 1/1945 Komite Nasional Daerah berubah atau menjelma menjadi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan diketuai oleh Kepala Daerah, serta mempunyai
tugas mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya dengan syarat tidak boleh
bertentangan dengan peraturan pemerintah Pusat dan peraturan Pemerintah Daerah
yang lebih tinggi kedudukannya.Meskipun Badan Perwakilan Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi
Kepala Daerah bukanlah merupakan anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
karenanya tidak mempunyai hak suara. Pada masa berlakunya UU No.1/1945, otonomi
yang diberikan kepada Daerah adalah otonomi Indonesia yang lebih luas
dibandingkan pada masa Hindia Belanda. Pembatasan terhadap otonomi itu hanyalah
agar tidak bertentangan dengan peraturan Pusat dan Daerah yang lebih tinggi.
alat kelengkapan (organ) Pemerintahan Daerah ada tiga yakni :
a. KNID sebagai DPRD Sementara yang bersamasama dan
dipimpin Kepala Daerah menjalankan fungsi legislatif.
b. Badan (terdiri dari sebanyakbanyaknya 5 orang) yang
dipilih dari dan oleh anggota KNID sebagai "Badan Eksekutif"
bersamasama dan dipim-pin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan
seharihari (dibidang otonomi dan tugas pembantuan).
Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat
menjalankan urusan pemerintahan Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang
dijalankan oleh kantorkantor Departemen di daerah.
Otonomi Daerah Pasca
Reformasi
Era
reformasi di tahun 1998, dimana soal otonomi daerah menjadi salah satu tuntutan
pokok dari reformasi. Alhasil dari tuntutan reformasi
itu lahirlah UU No.22 Tahun 1999 dan sekaligus mengakhiri orde otonomi daerah
model UU
No.5 Tahun 1974 yang sangat sentralistik .Perubahan akan otonomi daerah terlihat jelas dari petimbangan UU No.22 Tahun
1999 yang menyebutkan bahwa UU Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi
Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. Mengenai ketidak
sesuaian dari UU No.5 Tahun 1974 itu dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan
otonomi daerah diuraikan atau tergambar secara panjang lebar dalam penjelasan
UU No.22/1999.Apabila dicermati UU No.22/1999 terdapat banyak perbedaan yang
sangat prinsip serta sekaligus sebagai perbedaan yang fundamental dibanding
dengan UU No.5/1975.
Pertama, dipisahkannya dengan tegas antara Kepala
Daerah dengan DPRD. Artinya, bila dalam UU No.5/1974 keberadaan DPRD tercakup
dalam lingkup pengertian “Pemerintah Daerah”, dalam UU No 22/1999 ditegaskan
bahwa Pemerintah Daerah itu hanya Kepala Daerah dengan perangkar daerah lainnya
dan disebut dengan eksekutif daerah. Dalam konteks “Pemerintah Daerah”,
dirumuskan terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, sedangkan sebelumnya antara
Kepala Daerah dan DPRD berada dalam lingkup “Pemerintah Daerah”, sehingga ada
kerancuan DPRD ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif daerah.
Kedua, ditempatkannya Otonomi Daerah secara utuh
pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Artinya tidak ada lagi daerah
administrative atau yang sebelumnnya disebut dengan pemerintahan wilayah pada
tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana adanya pada UU No.5/174.
Ketiga, dijadikan Daerah Propinsi
dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang
melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur.
Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota.
Keempat, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
Kelima, berdasarkan UU No.22/1999
pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
didasarkan kepada asas desentralisasi saja
dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Artinya penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi hanya padatingkat Propinsi.
Keenam, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah apabila DPRD menolak
pertantanggungjawaban Kepala Daerah.
Ketujuh, adanya pembagian kewenangan
yang tegas antara Propinsi dengan Kabupaten Kota.
Kedelapan, Kepala Daerah baik gubernur
maupun bupati/walikota dipilih oleh DPRD, sedangkan sebelumnya Kepala
Daerah diangkat oleh Presiden atas usul DPRD.
Beberapa
hal yang dikemukakan di atas hanya sebagian saja dari perbedaan yang
fundamental penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai implementasi dari
dianutnya asas desentralisasi di Indonesia dibanding era sebelum reformasi. Ada
banyak hal perubahan yang fundamental dalam penyelenggaraan otonomi daerah dari
UU No.5/1974 ke UU No.22/1999, termasuk ke dalam hal ini diperkenalkannya
otonomi khusus oleh UU No.22/1999. Sementara di bawah UU No.5/1974 hanya
dikenal Daerah khusus yang secara subtansial memiliki perbedaan mendasar dengan
otonomi khusus.Singkat kata, dengan diundangkannya UU No.22/1999 sebagai
pengganti UU No.5 Tahun 1974 harus diakui telah memberikan “gairah” dan darah
baru bagi penyelenggaraan otonomi daerah.eforia otonomi daerah dengan segala dinamikanya
terlihat jelas di daerah-daerah. Meskipun kemudian, gairah otonomi daerah yang
meningkat luar biasa itu melahirkan berbagai masalah yang tidak diduga
sebelumnnya dan kemudian mendorong tumbuhnya pemikiran serta gagasan untuk
merevisi UU No.22/1999. Gagasan untuk merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian
direalisasikan yakni dengan diundangkannya UU No.32 /2004. Revisi atas UU
22/1999 yang hanya baru beberapa tahun itu sekaligus menunjukkan soal
otonomi daerah bergantung pada “selera” politik dan kekuasaan. Meskipun dalam
penjelasan UU No 32/2004 diangkat beberapa alasan untuk melakukan perubahan UU
No 22/1999 berupa Tap MPR dan perubahan UUD 1945 tetapi secara subtansial
revisi atas UU No 22/1999 lebih cenderung dilatar belakang politis melihat apa
yang berkembang pada penyelenggaraan otonomi daerah dibawah UU No 22/1999. Hal
ini dengan mudah bisa ditunjukkan, yakni dengan memperhatikan rumusan otonomi
daerah dari kedua UU tersebut. Dalam UU No.22 /1999 otonomi daerah diartikan
sebagai; “Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang- undangan ”. Rumusan terhadap otonomi daerah yang dalam
UU No 22/1999 diawali dengan frase “otonomi daerah adalah kewenangan daerah….
“, tetapi tidak demikian halnya dengan otonomi daerah dalam UU No.32/2004 yang
menyebutkan;“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan ”.
Dari
perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No 22/1999 dan UU
No.32/2004 itu mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU yang
mengatur tentang pemerintahan daerah sebelum reformasi yang senantiasa
memberikan rumusan terhadap otonomi daerah yang berbeda-beda antara satu
undang-undang dengan undang yang lainnya. Pengertian otonomi daerah dalam UU No
32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No
5 Tahun 1974. Dalam hubungan ini UU No 5 Tahun 1974 menyebutkan;
“Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dengan adanya perbedaan
rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32 Tahun 2004 tersebut dan
sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No
5 Tahun 1974 lagi-lagi memperlihatkan
betapa soal otonomi daerah selalu terseret arus politik dan kekuasaan.
Otonomi Daerah di Indonesia Saat Ini
Semenjak
reformasi di gulirkan dan menguknya konsep otonomi daerah sebagai bentuk
kritikan terhadap pengelolaan pemerintahan pada zaman ordebaru yang
dinilai pemerintahan yang sangat sentralistik yang kesemuanya dikomandoi atau
segalah urusan dinakodai pemerintah nasional atau pusat sehingga daerah atau
sub nasional tidak memiliki peranan yang berarti dalam pengolaha pemerintahan.
Tak terkecuali urusan pemerintahan yang bersifat tekhnis dimana jakarta menjadi
aktor penentu, meskipun jauh sebelum adanya otonomi daerah telah ada kritikan
tentang pengelolaan pemeritahan yang seperti itu dengan anggapan bahwa
keputusan yang diambil tidak tepat sasaran dengan apa yang diharapkan di daerah
, Setidaknya dalam hal pengelolaan negara tersebut, substansinya berada pad
rana Horisontal atau yang mana terkait dengan fungsi serta vertikal yaitu
struktur penyelanggara pemerintahan seperti pemerintahan nasional atau pusat,
daerah atau sub nasional. Dimana batasan batasan fungsi atau wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta hubungan diantaranya dalam
mengelolah pemerintahan.
Orde Baru
Memasuki
masa Orde Baru (Orba), UU 18/1965 diganti UU 5/1974 yang sentralistis. Proses
kehidupan demokrasi, terutama di daerah, mundur jauh ke belakang. Apalagi
dengan dibentuknya lembaga musyawarah pimpinan daerah (muspida), termasuk jalur
organisasi militer di daerah.
Prof Syarif Hidayat, dalam tulisannya,
”Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Orba (1966-1998)” di buku yang sama
mengatakan, di UU ini asas dekonsentrasi tak lagi didudukkan sebagai komplemen
dari asas desentraliasi, tetapi diberi status sama dengan desentralisasi.
Reformasi
UU
5/1974 diganti UU 22/1999 dan UU 25/1999. Seperti halnya UU 1/1957, UU 22/1999
dinilai terlalu jauh melompat. Menurut Prof Bhenyamin, bila UU 5/1974 teorinya
menganut model efisiensi struktural yang menekankan efisiensi dalam pelayanan
dan pembangunan, maka UU 22/1999 menganut model demokrasi lokal. Provinsi,
kabupaten, dan kota yang dulunya bergantung sepenuhnya dan menjadi subordinat
pusat, berubah menjadi independen dan koordinatif. Hubungan pusat dan daerah
yang tadinya bersifat dari atas ke bawah diganti dengan hubungan yang bersifat
resiprokal.
Karena UU
22/2004 memberi kemudahan terhadap pembentukan kabupaten dan kota, bermunculanlah
ratusan kabupaten dan kota yang jumlahnya sekarang mencapai 440. Sayangnya,
pertumbuhan pesat kabupaten dan kota tidak dibarengi dengan penegakan hukum dan
penguatan visi elite lokal. Yang terjadi kemudian, praktik korupsi,
mismanajemen daerah, dan konflik meluas. Untuk meredam lompatan yang dinilai
berlebihan itu, UU 22/1999 kemudian diganti dengan UU 32/2004. Dalam UU ini
diatur tegas wewenang pusat, yaitu politik luar negeri-pertahanan dan
keamanan-moneter- fiskal nasional-yustisiagama. Peran gubernur sebagai
kepanjangan tangan pusat untuk mengoordinasi daerah di bawahnya pun ditetapkan.
UU 32/2004, menurut Prof Bhenyamin, telah memadukan model efisiensi struktural
dan model demokrasi lokal. Meski demikian, nuansa demokrasinya tetap masih kental
karena baik KDH maupun DPRD dipilih langsung. Pada bulan
September 2014, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang tentang
Pemerintah Daerah yang baru, yaitu Undang-Undang No. 23/2014 yang menggantikan
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang lama. Meskipun
Undang-Undang yang baru ini mengembalikan beberapa kewenangan ke tingkat pusat,
UU ini memberikan panduan yang lebih jelas terkait distribusi fungsi
pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah adalah
kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. (Pasal 1
poin 3 UU No 23 Tahun 2014). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. wakil kepala
daerah tetap dipilih secara “paket” bersamaan dengan calon kepala daerah,
sebagaimana seperti dalam Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga perlu diatur pembagian tugas antara
kepala daerah dan wakil kepala daerah agar tidak terjadi disharmoni dan dan
perlunya pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala
daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan. (Pasal
1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah).
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom. (Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah).
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah. (Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah).
Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah)
Asas
Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan
Otonomi Daerah. Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Ø
Pendapat saya
tentang kondisi polstranas saat ini yang dipimpin oleh presiden Joko Widodo
sudah baik dan dapat dikatakan sudah mengakomodasi reformasi administrasi
pemerintahan dan menerapkan prinsip pemerintahaan yang bagus. Hal ini dapat
dilihat pada kebijakan dimana kebijakan tersebut memiliki ciri seperti manajemen
perubahan, penataan PERPU, penataan sistem manajemen SDM, penguatan pengawasan,
dll. Jadi menurut saya polstranas saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya.
SUMBER :